Selasa, 31 Juli 2012

Amunisi baru revisi beleid ketenagakerjaan

Amunisi baru revisi beleid ketenagakerjaan

JAKARTA. Niat pemerintah merevisi Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kembali menggebu. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi pasal 164 ayat 3 UU 13/2003 yang mengatur soal pemutusan kerja (PHK) semakin memperkuat alasan pemerintah merombak beleid tersebut.
Sejatinya, pemerintah pernah mengajukan draf revisi UU Ketenagakerjaan ke DPR. Tapi, oleh DPR, draf tersebut dikembalikan lagi lantaran tak berpihak ke pekerja. Alhasil, revisi beleid itu terpental dari daftar program legislasi nasional 2012. Toh, pemerintah tetap menggodok draf revisi UU Ketenagakerjaan tersebut dan akan diajukan ke DPR lagi secepatnya.
Salah satu poin revisi, tentu saja soal ketentuan PHK. Pemerintah akan mempertegas lagi ketentuan PHK dengan mengacu pada keputusan MK. Irianto R. Simbolon, Dirjen Perselisihan Hubungan Industri dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bilang, yang dimaksud perusahaan tutup dalam pasal 164 ayat 3, memang harus dimaknai sebagai perusahaan yang tutup permanen karena bangkrut atau sudah tidak bisa beroperasi lagi.
Di beleid yang sekarang, ketentuan itu masih abu-abu. Dus, perusahaan bisa saja melakukan PHK meski perusahaan hanya tutup sementara atau melakukan efisiensi. "Keputusan MK senafas dengan revisi UU Ketenagakerjaan yang kami buat," kata Irianto, kemarin.
Pemerintah sendiri masih mematangkan draf revisi beleid tersebut. Sunarno, Kepala Biro Hukum Kemnakertrans sebelumnya berjanji, pemerintah akan lebih berhati-hati dalam revisi tersebut.
Dalam revisi ini pemerintah konsen pada permasalahan, pertama, tunjangan hari raya (THR). Dalam UU lama, THR tidak diwajibkan dan nantinya akan wajib. Aturan hasil revisi juga akan mencantumkan sanksi bagi para pengusaha yang tidak memberikan THR. Kedua, soal upah lembur, kelak wajib diberikan kepada para pekerja di semua sektor. Ketiga, soal pengaturan dan pengawasan tenaga alih daya.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Ikbal menilai, lebih baik membuat UU baru ketimbang merevisi UU 13/2003, karena terlalu banyak pasal yang cacat hukum. "Percuma kalau revisi," tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar