PERNYATAAN SIKAP PUK SPEE-FSPMI PT AST INDONESIA tanggal 26-27 Juli 2012 oleh Chakim Comeradely pada 26 Juli 2012 pukul 4:22 ·
PIMPINAN UNIT KERJA SERIKAT PEKERJA ELEKTRONIK ELEKTRIK
FEDERASI SERIKAT PEKERJA METAL INDONESIA
PT AUDIO SUMITOMO TECHNO INDONESA
(PUK SPEE-FSPMI PT AST INDONESIA)
Jalan Raya Semarang-Kendal KM 12, Blok A-01 Kawasan Industri Tugu Wijaya Kusuma Technopark, Semarang
PERNYATAAN SIKAP
NOMOR: 99/PUK/SPEE/VII/2012
“Hentikan Pemberangusan Serikat Pekerja dan Hapuskan Sistem Kontrak di PT AST Indonesia”
Tahun 2008 kami bergabung dengan Federasi Serikat Pekerja Metal
Indonesia (FSPMI). Karena perusahaan tempat kami bekerja bergerak dalam
sektor elektronik, maka kami masuk ke dalam Serikat Pekerja
Elektronik-Elektrik (SPEE)—salah satu serikat pekerja sektoral yang
berafiliasi ke FSPMI. Penggabungan ini sekaligus merupakan perubahan
serikat pekerja kami sebelumnya, yaitu Serikat Pekerja Serikat Karyawan
PT AST Indonesia (SP SEKAR ASTI, selanjutnya disebut Sekar), menjadi
serikat pekerja dengan nama baru Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja
Elektronik-Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia PT AST
Indonesia (PUK SPEE-FSPMI PT ASTI, selanjutnya disebut PUK). Anggota PUK
kemudian terus bertambah hingga mencapai 90% dari total pekerja tetap
yang jumlahnya sekitar 500 orang.
Namun demikian, upaya kami
ini tidak didukung oleh pihak Manajemen PT AST Indonesia (selanjutnya
disebut Manajemen). Hal ini terbukti dengan tindakan Manajemen mem-PHK
sepihak 6 orang pengurus PUK dan mengaktifkan kembali Sekar sebagai
serikat pekerja tandingan yang aktivitasnya dikendalikan oleh Manajemen.
Manajemen juga terus melakukan berbagai tindakan yang membatasi ruang
gerak PUK dan sudah mengarah kepada tindakan penghalang-halangan
kebebasan berserikat. Di antara tindakan tersebut adalah diskriminasi
perlakuan terhadap PUK. Sekar diakui sebagai serikat pekerja yang resmi
sementara PUK dianggap tidak resmi dan aktivitas pengurus PUK yang
dilakukan selama jam kerja tidak dibayarkan upahnya.
Dengan
kegigihan para pengurus dan anggota, yang didukung oleh perangkat
struktural di tingkat provinsi dan nasional, pada awal tahun 2010 PUK
berhasil masuk ke dalam tim perunding penyusunan perjanjian Kerja
Bersama (PKB). Tim ini dibentuk sebagai langkah untuk menyusun PKB baru,
menggantikan PKB periode 2007/2009 yang habis masa berlakunya. Setelah
membuat Perjanjian Bersama (PB) tentang perpanjangan masa berlaku PKB
lama dan menyusun tata tertib perundingan, dilangsungkan perundingan
penyusunan PKB sepanjang bulan Juni 2010 hingga Juni 2012.
Dari
keseluruhan proses perundingan tersebut, ada 58 klausul usulan PUK yang
ditolak oleh manajemen. Perundingan mengenai 58 klausul ini selalu saja
mengalami kebuntuan (deadlock), padahal di antara klausul yang ditolak
tersebut merupakan aturan normatif yang sudah dimuat di dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Di antaranya adalah klausul
tentang dispensasi aktivitas pengurus serikat pekerja (UU Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh) dan klausul tentang
pengaturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) (UU Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 100 Tahun 2004 tentang PKWT).
Artinya,
dengan menolak klausul-klausul tentang kebebasan berserikat dan PKWT
tersebut, perusahaan sedang menolak menjalankan peraturan
perundang-undangan yang secara hierarkhis lebih tinggi dari PKB. Jika
hal ini tidak kami perjuangkan, maka kami akan menjadi bagian dari pihak
yang bersepakat untuk melawan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Dari kebuntuan perundingan PKB tersebut, maka PUK
memutuskan menempuh langkah mogok kerja sebagai bagian dari mekanisme
perundingan yang dilindungi oleh undang-undang ketika terjadi kebuntuan
dalam perundingan.
Dalam rentang waktu menuju mogok kerja,
Manajemen melakukan berbagai tindakan agar mogok kerja tersebut tidak
terjadi, dari lobi ke PUK hingga intimidasi terhadap anggota PUK yang
hendak melakukan mogok kerja. Manajemen juga menyatakan mogok kerja yang
akan dilakukan PUK tidak sah dengan alasan Manajemen masih membuka
perudingan. Akan tetapi, di dalam lobi yang dilakukan sebanyak 2 kali
oleh Manajemen kepada PUK, pernyataan ‘membuka perundingan’ tadi tidak
bisa dibuktikan karena perundingan atas 58 klausul yang deadlock sama
sekali tidak bisa dilakukan. Hal ini juga didukung dengan tidak
berubahnya sikap Manajemen di dalam perundingan-perundingan yang terjadi
selama mogok kerja berlangsung. Pada hari kedua mogok kerja, Manajemen
justru mengeluarkan pengumuman yang melarang anggota PUK masuk kerja
sambil menunggu proses PHK yang akan ditempuh oleh Manajemen.
Sikap kami terhadap semua kejadian tersebut:
1.PHK yang dilakukan Manajemen terhadap anggota PUK yang melakukan
mogok kerja adalah tindakan pidana penghalang-halangan kebebasan
berserikat. Hak untuk membentuk, menjalankan aktivitas serikat pekerja,
serta melakukan perundingan PKB jelas dilindungi oleh Konvensi ILO Nomor
87 tentang kebebasan berserikat, Konvensi ILO Nomor 98 tentang hak
untuk berorganisasi dan berunding, UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serta UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
2.Mengacu kepada azas lex superior derogat lex
inferiori (jika terjadi pertentangan antara aturan yang lebih tinggi
dengan aturan yang lebih rendah, maka aturan yang lebih tinggilah yang
didahulukan), maka penolakan Manajemen terhadap klausul tentang PKWT dan
kebebasan berserikat adalah pelanggaran yang tidak bisa ditolerir
karena kedudukan PKB di dalam tata aturan perundang-udangan jelas ada di
bawah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Kepmenakertrans
Nomor 100 Tahun 2004 tentang PKWT, serta UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
3.Alasan sebenarnya Manajemen menolak
klausul tentang PKWT adalah karena Manajemen sudah menjalankan praktik
PKWT yang melanggar aturan. Fakta yang terjadi di lapangan adalah
Manajemen mempekerjakan pekerja dengan sistem PKWT pada semua jenis
pekerjaan tanpa menerapkan kriteria pekerjaan yang selesai dalam waktu
tertentu dan pekerjaan yang sifatnya tidak terus-menerus. Dari
perhitungan yang dilakukan oleh PUK komposisi PKWT di PT AST Indonesia
saat ini adalah 60:40 berbanding dengan PKWTT.
Dengan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka kami menuntut:
Pertama, Batalkan pelarangan bekerja per tanggal 11 Juli 2012 dan
pekerjakan kembali seluruh anggota PUK yang melakukan aksi mogok kerja
karena:
a.Perusahaan dilarang memberikan sanksi atau tindakan
balasan terhadap mogok kerja sebagaimana diatur di dalam UU Nomo 13
Tahun 2003 pasal 144 ayat (2);
b.Menurut Keputusan Menteri Nomor 232
Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah, tidak ada
konsekuensi PHK terhadap anggota PUK yang melakukan mogok kerja selama 2
hari pada tanggal 9 dan 10 Juli 2012;
c.Rencana PHK yang akan
ditempuh oleh Manajemen tidak sesuai prosedur sebagaimana diatur di
dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 151 ayat (2) dan (3), serta pasal 152
ayat (1), (2), dan (3);
d.Masing-masing pihak harus tetap
menjalankan kewajibannya selama belum ada putusan dari pengadilan
hubungan industrial tentang PHK sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003
pasal 155 ayat (2);
Kedua, Lanjutkan proses perundingan PKB
terhadap 58 klausul yang deadlock.Pelarangan bekerja yang dilakukan oleh
Manajemen merupakan upaya untuk mengalihkan persoalan dari gagalnya
perundingan menjadi persoalan perselisihan PHK dengan alasan mogok kerja
tidak sah;
Ketiga, Hapuskan sistem PKWT di PT AST Indonesia
dan angkat semua pekerja PKWT yang ada menjadi pekerja tetap karena
Manajemen jelas-jelas telah melakukan pelanggaran terhadap UU Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Kepmenakertrans Nomor 100 Tahun 2004
tentang PKWT dengan memberlakukan PKWT pada pekerjaan yang tidak ;
Keempat, Manajemen harus tetap membayarkan penuh:
1.Upah anggota PUK yang mogok kerja pada tanggal 9 dan 10 Juli 2012
karena mogok kerja yang dilakukan oleh PUK adalah mogok kerja yang sah
dilindungi oleh UU Nomo 13 Tahun 2003 pasal 137 dan pasal 145;
2.Upah anggota PUK yang dilarang bekerja sejak tanggal 11 Juli 2012,
dibayarkan pada jatuh tempo setiap bulannya. Hal ini jelas dilindungi
oleh UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 155 ayat (2) serta Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 tertanggal 19 September 2011;
3.Tunjangan Hari Raya tahun 2012 sebagaimana diatur di dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya;
Kelima, Hentikan rekruitmen pekerja baru untuk menggantikan anggota PUK
yang dilarang masuk kerja sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 13 tahun
2003 pasal 144 ayat (1);
Keenam, Pekerjakan kembali 6 orang
pengurus PUK yang di-PHK melalui Surat Keputusan Nomor
3965/SK-Dir/IX/2008 tertanggal 1 September 2008 karena PHK terhadap
pengurus serikat pekerja adalah pelanggaran terhadap UU Nomor 21 Tahun
2000 pasal 28 jo. Pasal 43.
Demikian pernyataan ini kami buat agar menjadikan maklum semua pihak.
Semarang, 26 Juli 2012
Koordinator Umum,
Ttd
Agung Utomo — di Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar